Cerita Pendek (Cerpen) Di Balik Rasa Iba

Di Balik Rasa Iba
Karya : Esti Noor Wibawa Sakti

“Pak?” panggil suara di samping Udih.
Udih memandangi siswa didiknya—seorang  bocah laki-laki yang tengah berdiri dengan satu kaki. “Ya? Kenapa?”
“Saya udah boleh pulang?” tanaya bocah itu, masih dengan kedua tangan memegang erat sepasang telinganya.



“Ya. Lain kali kamu ketahuan bawa alkohol, orang tua kamu saya panggil.”
Dengan sigap, siswa bernama Radja itu beranjak dari pojok kelas dan mulai meninggalkan guruya. “Iya Pak. Siap, Pak,” jawabnya sambil lalu.
Udih mengelus dadanya pelan. Kelakuan anak zaman sekarang memang sudah kelewat batas. Tidak tanggung-tanggung, anak itu ketahuan mengonsumsi alkohol di kantin sekolah. Padahal, dulu Udih rela melakukan apa saja agar anak-anak seperti Radja tidak terpapar alkohol dan obat-obatan berbahaya.
Walau sudah sekian tahun ia mengabdi pada dunia pendidikan, tak pernah sehari pun ia lupakan kenangan itu. Sebuah tempat perhentian tujuh belas tahun silam, di mana Udih masih mengenakan almameter hijau dengan bangga.

Baca Juga (Cerita Mini (Cerimin) Kendaraan Bermotor)

Tidak ada yang spesial, hanya seorang mahasiswa dan tukang peminta-minta dengan bayi di dekapannya. Eksistensi mereka pun samar-samar di antara manusia hilir mudik. Roda berputar ketika mahasiswa itu membiarkan rasa ingin tahu mendikte tindakannya.
“Maaf, Bu, kenapa anak  Ibu dari pagi sampe sekarang masih tidur?”
Suasana terminal masih ramai. Bus-bus bobrok antar kota silih berganti. Calon penumpang dan para calo pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, tidak peduli dengan mahasiswa ingusan dan wanita berkerudung di hadapannya.

Terik mentari membuat hitungan detik terasa menit. Mahasiswa itu masih menuggu. Sayang, bukannya memberika jawaban, Ibu justru melengos dan beranjak dari tempatnya duduk.
Mahasiswa bernama Udih itu tidak segan-segan mencegat si Ibu. “Loh, Bu? Saya, kan Cuma tanya. Kenapa harus pergi?”

Ibu itu menggeleng pelan. “Maaf, Mas. Saya harus pulang.”
“Ini, uang. Ambil,” ucap mahasiswa itu seraya menyerahkan lembaran berwarna hijau. “Buat anak Ibu yang lagi sakit.”

Meski ragu-ragu, uang itu akhirnya masuk ke dalam kantong bersama logam-logam berlambang garuda. “Makasih, Mas. Permisi.”

Udih hanya bergeming. Tatapannya tertuju pada seorang bayi yag tertidur pulas—lelap dalam senyap, seakan tidak ditemani hingar-bingar klakson dan mesin kadaluwarsa.

Baca Juga (Materi Pelatihan Bengkel Bahasa)

“Heh! Kenapa ini ribut-ribut?” suara seorang pria melewati gendang telinga Udih dari belakang.
Ibu itu spontan berbicara dalam bahasa Jawa dengan pria di sampingnya. Udih hanya menangkap beberapa kata, tapi ia mengerti bahwa mereka membicarakan dirinya.

Dikutip dari : http://cdn2.tstatic.net/pontianak/foto/bank/images/penyandang-cacat-duduk-lesehan.jpg
“Oh, kamu mau cari ribut di sini?” tanya lelaki itu pada Udih.
Sorot mata lelaki itu tajam, penuh intimidasi. Di antara kedua jarinya terdapat sebatang rokok yang sesekali diisap kemudian asapnya disemburkan keluar mulutnya. Badannya kekar. Seluruh lengan berototnya tertutup rajah berbagai bentuk. Satu kata yang terlintas di benak Udih: preman.

“Nggak, Pak. Saya tuh Cuma tanya, anak Ibu ini kenapa? Kok dari pagi tidur terus?” kilahnya. Meski gugup, Udih tetap tidak gentar. Ia tahu jawabannya ada di depan mata. Ia hanya butuh mendengarnya langsung dari pengemis itu.

Tak pernah terlintas di benaknya bahwa seorang pengemis akan bekerja sama dengan preman. Bahkan pengemis itu tampak meminta perlindungan preman, seolah mengatakan bahwa kegiatan mengemis selama ini dinaungi oleh organisasi kejahatan. Belum lagi, kenyataan bahwa hampir semua bayi pengemis yang Udih temui berada dalam keadaan tertidur. Seakan berterian, “Ya! Kami pengemis, penjahat juga!”
“Saya ngerti kamu wong pinter, tapi nggak perlulah kamu urus-urus Ibu ini.” Kebakaran jenggot, mungkin itulah yang bisa mendeskripsikan dua orang di hadapan Udih.

“Loh? Saya, kan Cuma tanya. Saya juga bukan wartawan yang akan mengangkat hal ini ke media. Kenapa harus ada masalah?” heran, penasaran, dan kesal berkecamuk dalam diri mahasiswa tingkat akhir itu.
“Berisik kamu! Sudah sana pulang! Perlu saya hajar dulu?” ancam lelaki itu. Senyum sinis nan bengis menghiasi wajahnya.

Baca Juga (Bingung Mau Menulis Cerita Dari Mana? Ke sini Aja!)

Kalimat terakhir preman itu membuat pandangan Udih memerah. Dari semua yang ia harapkan hari itu, diancam preman bukan salah satunya. Ia lelah setelah seharian mencari bahan untuk skripsi. Kepalanya terus berdenyut mengalahkan teriakan kondektur. Mungkin memang Udih sedang tidak berpikir jernih, sehingga ancaman itu bak pukulan terakhir baginya. Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Yang jelas, ketika ia sadar, tangan kanannya sudah menghantam wajah preman itu, menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga.

“Brengsek!” teriak preman itu, memegangi hidungnya yang cedera.
Hanya butuh satu detik bagi preman itu untuk membalas pukulan Udih. Satu menit untuk Ibu dan bayi tadi pergi. Kemudian, satu menit lagi untuk preman-preman lain bergabung membantu temannya.
***

“Ayah! Aku tadi pagi bikin gambar ini. Nih, liat. Bagus, kan?” Kiki, seorang bocah empat tahun dengan semangat menyodorkan gambar mobil ke Ayahnya.
“Wah, iya keren, Ki. Hebatnya anak Ayah,” jawab Udih seraya memeluk anak semata wayangnya.
Ambarawa Rizki merupakan keajaiban kecil dalam hidup Udih. Bertahun-tahun ia memalingkan muka terhadap anak kecil ternyata tidak membuat Tuhan kehabisan akal. Ghani adalah bukti bahwa Tuhan Maha Adil. Di umurnya yang masih belia, Ghani menunjukkan ketertarikan yang sangat tinggi untuk menolong sesama. Ia juga sangat kritis meskipun tidak kehilangan unsur kanak-kanaknya. Sungguh, Rizki adalah manifestasi sempurna bagi Udih untuk menebus dosa di masa lampau.

Berlebihan atau tidak, hal itu yang dirasakan Udih ketika mengetahui kenyataan yang ada. Dia merasa bahwa ia bisa menyelamatkan bayi itu jika tidak membiarkan emosi membutakan dirinya. Dia juga merasa bahwa ia seharusnya bisa menyelamatkan bayi-bayi yang lain. mungkin Udih memiliki hero complex, sebuah kecenderungan untuk jadi pahlawan. Entahlah, yang jelas, ia yakin bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Karena hero complex atau buan, ia bermimpi bisa mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik.

 Malam ini misalnya. Setelah mendengarkan Rizki bercerita tentang harinya, Udih segera mandi dan membuka laptop pribadinya. Tidak memakan waktu lama, sampai layar laptop Udih dipenuhi warna merah putih.
“Help and Protect Syrian Refugee: Anak berusia 3 tahun itu terbaring di pinggir pantai. Ia tak bangun walau ombak menyapu wajahnya. ketika tubuhnya diangkat, ia sudah tak bernyawa. Namanya Aylan Kurdi.”

Baca Juga (Puisi Bertema Tentang Pengorbanan)

Tanpa ragu, Udih meng-klik kotak yang bertandakan ‘Tandatangani Petisi’. Setelah selesai mengisi data diri, ia segera mencari petisi-petisi lain yang memerlukan bantuannya.
Inilah hidup Udih sekarang. Pergi mengajar, pulang ke pelukan keluarga kecilnya, dan menghabiskan waktu luang untuk mencari petisi-petisi online di internet.
Terdengar repetitif memang. Namun, Udih tidak menyesali hidupnya sedikit pun. Dia bisa saja menjadi pengusaha kaya seperti mimpinya dahulu, tapi hidupnya justru jauh dari kata kaya. Alasannya sederhana. Tujuh belas tahun yang lalu, ketika dunianya jungkir balik, ia memutuskan untuk membuat perubahan. Ia tidak tertarik lagi dengan materi di dunia. Ia hanya ingin memastikan bahwa sebagai manusia ia tidak kehilangan unsur fundamental yang membuatnya menjadi manusia. Yakni kemanusiaan.

Bertahun-tahun ia lewati bersamaberbagai organisasi independen. Menjadi aktvis, demo sana-sini, serta mengirimkan berbagai esai ke koran-koran mejadi hal yang tidak asing lagi baginya. Sampai suatu hari takdir berkata lain. Udih ditunjuk menjadi seorang guru di sekolah milik temannya.
Memang, tantangannya tidak sebesar menjadi aktivis. Perjuangannya pun tidak terlihat jelas dibanding apa yang di perjuangkan para aktivis kemanusiaan. Meski begitu, Udih cukup puas untuk ikut andil dalam proses pembentukan karakter generasi-generasi muda.

Paling tidak, ia bisa mengajarkan anak didiknya untuk tidak apatis. Untuk tidak seperti dirinya dahulu. Contohnya tadi pagi. Udih meminta murid-muridnya untuk memberikan pendapat mengenai artikel yang ia tulis semasa masih giat berdemonstrasi. Sebuah artikel usang yang selalu Udih bagikan kepada siswanya setiap tahun. Harapannya satu. Agar suatu hari nanti akan ada siswa didiknya yang meneruskan perjuangannya melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terhadap kemanusiaan.
***
 Baca Juga (Hari Anak Nasional)

Pernah memberikan secercah uang Anda untuk pengemis? Merasa iba jika pengemis itu membawa bayi atau anak-anak? Berharap uang Anda akan membantu ekonomi mereka? Coba pikir lagi.
Jika Anda pernah menghabiskan waktu dengan seorang bayi, Anda pasti menyadari bahwa bayi sangat mudah terbangun dari tidurnya. Entah itu karena lapar, buang air, atau kaget.
Coba bayangkan jika bayi itu berada di sebuah tempat yang bising dan tidak nyaman. Apakah bayi itu tidak akan terganggu?

Sekarang coba bandingkan dengan bayi-bayi yang dibawa pengemis. Di terminal maupun lampu merah, suasananya hiruk pikuk dan tidak sesuai untuk bayi yang yang sedang tidur. Mereka juga dibawa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. terkadang bahkan bayi itu dibawa berlari mengejar bus kota. Tapi bayi itu tetap saja terlelap  di alam tidurnya.

Pernahkah Anda berhenti sebentar dan berpikir kenapa?
Bayi-bayi yang dibawa pengemis itu sudah dijejali dengan obat bius, minuman beralkohol, hingga heroin. Tidak jarang dosisnya pun sangat tinggi dan membahayakan bagi bayi. Tujuannya agar pengemis-pengemis itu tidak diganggu oleh rengekan bayi yang dibawanya.

Sudah terbayang bagaimana dampaknya di tubuh rentan bayi-bayi malang tersebut?
Bayi-bayi itu tidak mampu mengatasi bahaya yang dihasilkan dari pemberian minuman dan obat-obatan terlarang. Banyak dari bayi-bayi itu yag meningal selama mereka dibawa mengemis. Yang mengerikan, pengemis tersebut membaw anak dan bayi yang meninggal hingga malam hari. Karena ketidaktahuan, banyak orang yang memberikan uang kepada pengemisi itu. tindakan yang awalnya didasari rasa kasihan justru malah membantu pengemis-pengemis itu mengeksploitasi bayi dan anak-anak.

Ingin tahu yang lebih mengerikan?
Para pengemis itu membawa bayi dan anak yang berbeda setiap harinya. Karena bayi-bayi yang mereka gunakan merupakan bayi-bayi yang disewa, atau bahkan diculik dari keluarganya.
Bayangkan jika anak dari seseorang yang Anda kenal diculik, dibius, kemudian diekspolitasi. Bagaimana perasaan Anda? Masih ibakah?

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.