Cerita Pendek (Cerpen) Kopi Hitam


Black Coffe
                                 Kopi Hitam
                                                Oleh : Esti Noor Wibawa Sakti/1 bagian

Blurb : Ini cerita dengan unsur kepahitan yang disajikan kopi hitam didalam cangkir putih.

“... Bahkan kopi hitam dalam cangkir putih itu pun tahu. Betapa pahitnya cinta diam-diamku padamu,”
Cafe Retro, 3 November 2015
Tetesan air langit masih saja mengguyur bumi sejak tadi pagi. Awal November... tentu saja hujan yang berkuasa, bahkan hujan tidak mengizinkan senja muncul hari ini untuk sekedar menjemput mentari keperaduannya.
Dan aku masih terdiam disini sejak beberapa menit lalu, setelah memesan satu cangkir minuman favoritku. Kemana dia? Terjebak macet kah atau lupa dengan janji yang dibuatnya semalam? Aku mngecek ponselku, tak ada satupun notifikasi yang muncul disana.
Aku terdiam lagi, menopang dagu memperhatikan tetesan air yang jatuh berirama lewat kaca besar disamping ku ini. Hujan, entah mengapa aku membenci hujan. Pikiranku melayang, jika dipikir-pikir, ini pertemuan pertama kami setelah tiga tahun yang lalu saat kelulusan masa putih abu-abu. Dan sepertinya, aku masih menyimpan rasa untuk dirinya.
“Permisi mba, ini pesanannya satu cangkir kopi hitam tanpa krim. Benar?” aku menoleh mendapati laki-laki dengan memakai seragam yang sama seperti karyawan disni mengantarkan pesananku, senyumnya manis aku sempat terdiam sebentar memperhatikan senyumnya.
“Iya, terima kasih,” aku pun ikut tersenyum. Dia pun berlalu meninggalkanku.
Kuperhatikan kopi hitam di hadapanku. Hitam pekat, entah mengapa akhir-akhir ini aku sangat menyukai minuman ini mungkin karena rasanya yang pahit seirama dengan hatiku yang merasakan pahitnya cinta ini.
Aku mendongak melihat kearah pintu masuk, laki-laki berwajah manis dengan hidung mancung dan alis tebal memasuki kafe ini. Ia menyapukan pandangannya keseluruh kafe ini smapai mata indahnya itu menatap diriku yang tengah duduk memperhatikannya masuk. Ia melambai kearah ku yang kubalas dengan senyum tipis, berjalan kearahku dengan sesekali mengibaskan rambutnya yang setengah basah.
Aku masih disini memperhatikannya berjalan, sampai akhirnnya ia berhenti didepanku dan langsung menduduki kursi dihadapanku.
“Hai! Sorry telat, tadi macet sekalian nikmatin hujan juga sih,” ia seseorang yang kutunggu sejak beberapa menit lalu. Aku tersenyum maklum.
“Ada apa lo ngajak ketemuan gue? Masih ingat gue juga, huh?” ucapku tanpa berbasa basi lagi.
Aku melihatnya sedang terkekeh lalu meminum kopiku tanpa permisi, yang kuhadiahi delikkan mataku.
“Lo! Udah dateng telat, dateng dateng langsung minum kopi gue seenaknya aja,” omelku pada orang didepanku ini.
“Sabar Nik sabar! Gue capek ini, tadi lari dari parkiran,” ucapnya tanpa bersalah, dan meneguk kopiku untuk kedua kalinya.
Aku menahan nafas ketika melihatnya dari dekat seperti ini, dapat kucium aroma mint keluar dari tubuhnya. Aroma yang selama ini kurindukan. Dadaku bergemuruh seakan ingin meledak.
Dia mengangkat kepalanya, lalu menatapku dengan intens. Ini membuat kupu-kupu di perutku melayang-layang, ada perasaan senang tersendiri. Apa ini? Apa aku masih menyimpan perasaan pada orang ini?
“Lo kurusan Nik. Liat, mata lo jadi berkantung dan item lagi dibawahnya,” Dia berkata sambil mengusap lembut kantung mataku. Aku memejamkan mataku sejenak menikmati usapan lembutnya pada wajahku yang lama kurindukan.
Dia menarik tangannya kembali, “Dan sejak kapan lo minum kopi?” tanyanya.
Ada sedikit rasa kecewa saat ia tak melanjtukan usapannya di wajahku. Aku bersedekap, lalu memperhatikan dia yang terlihat berbeda sejak pertemuan terakhir kami.
“Kemana jengger ayam yang bertengger di kepala lo? Terus, kenapa sekarang lo putihan sih?” tanyaku kesal
Dia hanya tertawa, “Jadi begini ya pertemuan pertama kita? Gue kira kita bakal kangen-kangen gitu, emang lo gak kangen apa sama gue?” tanyanya setelah menghentikan tawanya.
 Asal lo tau gue hampir mati karena kangen sama lo! Ingin rasanya aku menjawab seperti itu, tetapi gengsiku terlalu tinggi dan mengalahkan hatiku, “Gak! Ngapain juga gue kangen sama cowo alay kaya elo.”
Dia terkekeh lagi seraya meraih tanganku untuk digenggamnya. Dadaku mulai berdisko saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya, dengan lembut diusapnya telapak tanganku.
 “Gue kangen banget sama lo Nik, gue kangen sama omelan lo kalau kita terlambat, gue kangen jailin lo, gue kangen lo mainin rambut gue, gue kangen kita habisin waktu bareng. Intinya gue kangen semua yang berkaitan deng elo dan kita,” Dia berceloteh panjang lebar seperti itu dengan lembut dan menatap intens wajahku. Kupu-kupu diperutku mulai beterbangan, ini membuatku yakin bahwa aku masih mencitai laki-laki dihadapanku ini.
Dia melepaskan genggaman tangan kami. Lalu duduk bersender pada kursi.
“Gue ngajak lo ketemuan karena gue kangen sama lo Nik. Dan mumpung gue lagi gak ada kerjaan, makanya gue balik.” Jelasnya sekarang lebih terlihat santai.
Aku tersenyum, “Gimana London?” tanyaku.
Dia tertawa kecil, aneh sejak tadi kenapa ia doyan tertawa, “London masih sama lah Nik, masih rame banyak orang. Seharusnya lo tanya kabar gue.”
“Ngapain gue tanya kabar lo, lah elo udah ada didepan gue sehat walafiat,” Jawabku sinis.
Dia menegakkan badannya,lalu tangannya terulur mengacak lembut rambutku dan langsung kutepis, “lo masih sama ya ternyata, gak berubah. Niki yang sinis,” dia menyesap kopi milikku lagi.
“Oh iya! Gue mau nyampaikan sesuatu ke elo Nik,” Aku mengernyitkan dahiku bingung, kan dia ngajak ketemuan memang mau ngomong sesuatu.
“Tapi nanti dulu, tunggu seseorang dulu ya,” Lanjutnya, dan aku makin bingung. Jadi aku hanya mengangguk saja.
Baca Juga (Cerita Pendek Karya Esti Noor; Di Balik Rasa Iba)
 
Hening! Ya, hening yang terjadi setelah percakapan tadi. Dia asik dengan ponselnya, seakan aku bukan orang yang asik diajak berbincang.
Dulu kami begitu akrab, rumah kami hanya bersebelahan dan kami sering bermain bersama. Aku jadi ingat, dulu kami pernah menghabiskan waktu dikamarku seharian dan kena omel mamaku hanya untuk bermian Harvest Moon.
Kami bersahabat sejak kecil, hampir setengah hidupku kulalui bersama dia. Saat dia memperkenalkan pacar pertamanya padaku, saat itu juga aku kesal dan langsung memusuhi pacarnya. Waktu itu kami masih duduk di bangku putih biru. Mungkin sejak itulah aku menyimpan perasaan padanya. Sewaktu di bangku putih abu-abu pun dia beberapa kali mengenalkan pacarnya padaku, dan selama ia berpacaran tak ada satu pun pacarnya yang tak pernah tak kusinisi seluruh pacarnya waktu itu selalu kusinisi.
Klenting! Lamunanku buyar ketika suara pintu masuk terbuka. Dia yang dihadapanku ikut membalikkan badannya lalu melambai pada perempuan yang baru memasuki kafe ini.
Siapa perempuan itu? Kuperhatikan, perempuan itu cantik dengan rambut panjang terurai sampai punggung, dengan setelan dress bunga-bunga makin mempercantik dirinya.
“Hai sayang, maaf aku telat,” Jleb! Sayang? Siapa perempuan ini, pacarnya kah?
Kulihat dia tersenyum senang, pancaran matanya pun berbeda, “Gapapa, ayo duduk. Kenalin ini Niki sahabat aku yang sering aku ceritain kekamu.”
“Nesya, pacar Reza,” Perempuan bernama Nesya itu mengulurkan tangannya dan segera kusambut. Oh tuhan! Pacar Reza kali ini benar-benar cantik, jika dibandingkan dengan mantan Reza terdahulu jauh sekali perbedaannya apalagi jika dibandingkan denganku.
“Niki, sahabat Reza,” ucapku dengan senyum tipis.
Jadi, maksud Reza mengajakku bertemu hanya ingin mengenalkan pacar barunya begitu?
“Oh ya, Nik gue ngajak ketemuan bukan sekedar ngenalin Nesya aja. Tapi gue mau undang lo ke acara tunangan gue sama Nesya,”
Jeder!! Bagai tersambar petir, aku kaget mendengarnya.seperti ada ribuan jarum yang menancap dihatiku. Baru saja kupu-kupu diperutku terbang dan kini ia harus jatuh lagi terhempas ke bawah.
“Iya kak Niki, datang ya nanti,” Lanjut Nesya, seakan tak mengerti ketekejutan yang kualami.
Aku tersenyum hambar, “Oke! Nanti gue dateng, emang kapan acaranya?” tanyaku mencoba terlihat biasa saja.
Baca Juga (Cerita Mini Karya Tsugami Ichi; Kendaraan Bermotor)
 
“Besok malam Nik, di rumah Nesya. Kita ngadain acaranya juga ngundang khusus keluarga sama sahabat aja kok,” Jawab Reza. Kulihat Reza merangkul mesra Nesya.
Betapa sakitnya ini. Entah kenapa, mendengar kabar bahwa Reza akan bertunangan lebih menyakitkan daripada Reza begonta-ganti pacar.
“Okedeh, gue dateng nanti,” Jawabku.
“Kak Niki. Mungin ini aja sih yang mau kita sampaikan. Aku berharap banget loh kak Niki dateng sambil bawa pacar gak papa kok kak. Hehe,” cerocos Nesya, ada keinginan untuk membuat Nesya pisah dari Reza. Tapi kurasa itu tak mungkin, karena saat ini aku melihat binar cerah dimata Reza saat bersama Nesya.
“Ya udah, gue sama Nesya pamit dulu. Thanks loh buat kopinya tadi,”
Reza dan Nesya pergi keluar kafe, dengan tangan Reza melindungi kepala Nesya dari rintik hujan yang masih mengalir.
Bertambahlah alasanku membenci hujan, karena saat hujan Reza benar-benar meninggalkanku dengan perasaan yang masih tersembunyi.
Aku memperhatikan kopi hitamku yang sisa setangah. Aku mengangkat cangkir putih itu, lalu menyesap pelan menikmati sensai pahit yang ditimbulkan.
Bahkan kopi hitam dalam cangkir  putih itu pun tahu. Betapa pahitnya cinta diam-diamku padamu. Aku mendengus kesal.
Kini kutatap lagi kaca bening disebelahku. Aku memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang denga lancar. Hujan masih saja asyik mengguyur bumi. Hatiku sudah mantap, aku harus mencari cinta baru dan melepaskan cinta lamaku yang sedang berbahagia.
Kreekk!! Aku bangkit lalu meninggalkan beberapa lembar uang kertas diatas meja. berjalan sambil mengecek ponselku. Tapi, tiba-tiba...
BRUK!! Ponselku jatuh dan layar lcdnya pecah.
“Kalau jalan hati-hati dong!!!” seruku kesal sambil memungut ponselku dibawah.
Kulihat orang yang menabrakku, ternyata dia adalah laki-laki yang mengantarkan pesananku tadi.
 “Maaf mba, tapi mba juga salah karena seharusnya mba tidak memainkan ponsel sambil berjalan,” Ucapnya masih dengan senyum yang menghias diwajahnya, tetapi senyumnya kali ini beda lebih terlihat dingin.
Aku memutar bola mataku malas, dan menghembuskan nafas kesal, “Iya, gue tau gue salah. Maaf deh,” ucapku tak ikhlas dan langsung pergi tanpa menunggu responnya.
Aku memasuki mobilku dengan perasaan kesal karena ponsel kesayanganku layarnya retak.
***
Tanpa disadari hidup Niki akan berubah setelah pristiwa ini.
Bahkan kopi hitam dalam cangkir putih itu pun tahu, betapa pahitnya cinta diam-diamku padamu.
_END_

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.