Cerita Pendek (Cerpen) Perhatian

Perhatian


Perhatian
Karya Esti Noor
Siapa bilang hanya perempuan saja yang bisa memendam rasa lalu terlena karenanya?
***
Kelas sedang ramai pagi ini, guru yang mengajar memiliki tugas lain di luar kota. Akibat hal luar biasa tak terduga itu, para murid bersorak penuh kegembiraan. Maklum saja, Bu Ina—guru Kimia ter-rajin yang seharusnya masuk hari ini—jarang sekali absen dalam mengajar.
Belum lagi hari ini, seharusnya banyak Pekerjaan Rumah yang wajib dikumpulkan. Ketidakhadiran Bu Ina membuat para siswa menangis penuh haru, bahkan sebagian sedang sibuk sujud di depan kelas.
Kelas unggulan ini seketika riuh. Ramai sorak-sorai dan pekikan riang siswa yang kelewatan dalam berekspresi. Aku hanya dapat tersenyum mellihat tingkah teman-teman sekelasku. Bohong kalau aku bilang bahwa aku tidak ikut gembira, aku bisa saja membanting meja atau menari hula bersama teman-teman di depan sana, tapi sekarang aku terlalu malas untuk berbuat gila. Badanku sedang tidak bersahabat.
“KITA HARUS NGERAYAIN INI!!!” Panji selaku ketua kelas dengan lantang meneriakkan kalimat itu. Para murid lelaki lainnya mengangkat tangan setuju sambil mengelu-elukan Panji layaknya dewa yang baru saja memberikan hadiah.
Sebagian besar murid lelaki langsung saja berjalan antusias menuju kantin, termasuk Aldo—siswa laki-laki paling ambis di kelas. Panji memimpin jalan di depan.
“Dit, lo nggak ikut?”
Aku menoleh pada teman sebangkuku, Arga, yang sekarang sedang membereskan buku pelajaran di atas mejanya.
Menggeleng kecil, aku menjawab, “Gak enak badan. Titip bakwan satu, ya, Ga.”
“Uangnya?”
“Bayarin, elah. Sekali-kali doang.”
Arga mendengus. Tangannya merapikan rambut hitamnya kebelakang. Tanpa menjawab, dia berjalan pergi ke luar kelas—mengikuti jejak Panji dan kawanannya.
Aku menjatuhkan kepala di atas lipatan tangan. Aku tahu, Arga pasti akan membawakan titipanku. Dia masih punya hutang dua bakwan. Aku akan menagihnya nanti.
Walau sebagian penghuninya sudah pergi, kelasku sama sekali belum kehilangan suasana ramainya. Murid perempuan memutuskan untuk tinggal di kelas, sudah sama berisiknya dengan keributan yang disebabkan Panji dan murid lelaki sebelum keluar tadi.
Hampir setengah murid yang tertinggal memutuskan untuk bercerita dengan teman sekelompok mereka, sedangkan sisanya—aku mengerutkan dahi sejenak—tengah sibuk berkutat dengan buku cetak Kimia dan kertas coretan. Aku tak mengerti apa isi pikiran kelompok ambis itu. Belajar memang penting, tapi apa salahnya bersantai sejenak?
Hidup bukan hanya soal rumus atau materi pelajaran formal, bung.
“Udah liat anak baru di kelas sebelah? Ganteng banget, sumpah! Pindahan dari luar kota, katanya. Kalian udah tau belum?”
“Udah, dong. Namanya Jo-Jo atau apa gitu, kan?”
Aku menoleh saat mendengar ucapan bernada antusias itu. Segerombolan murid perempuan duduk membentuk lingkaran di meja yang tak jauh dari tempat dudukku.
Mereka berbicara terlalu keras, mau tak mau, aku jadi bisa mendengar semua obrolan mereka. Ini menyebalkan, mengingat kepalaku semakin pusing mendengar keributan yang mereka hasilkan.
Baru saja aku ingin menegur, sebait tawa pendek berhasil menarik seluruh perhatianku. Gadis yang duduk tepat di sebelah biang gosip itu memerhatikan obrolan teman-temannya dengan mata yang berbinar cerah—yah, matanya selalu terlihat berbinar, sebenarnya.
Ada lengkung kecil yang terpatri setelah tawanya reda. Aku memerhatikannya dari balik lipatan lengan. Dia tak sadar aku sedang memerhatikannya, dia memang selalu tak sadar.
Kepalanya tertutupi jilbab putih. Dia memiliki pipi yang tembam, ada beberapa giginya yang tak rata, jika ia tertawa akan terlihat manis. Tawanya tak sekeras teman-temannya, ia tertawa dengan cara yang lebih anggun, menurutku.
Aku memutuskan pandanganku darinya, kemudia membenamkan kepalaku lebih dalam sampai ujung hidungku menyapa permukaan meja. Aku tak dapat menaham senyum. Ini bodoh, tapi aku suka perasaan bodohku ini.
Mungkin dia akan marah jika mengetahui bahwa aku terus memerhatikannya sampai detail terkecil yang ia lakukan. Taka da keraguan jika dia akan menjulukiku penguntit tak waras atau sebagainya. Namun aku tak bisa berhenti. Tiap derai tawanya maupun pelangi terbalik yang menghiasi wajahnya selalu berhasil menarik semua keraguan.
Perhatian dan kepdulianku tak ingin memutuskan hubungan denga Poppy. Mereka gila, menarikku tenggelam juga dalam rasa aneh yang entah apa namanya. Menggelikan. Perkataanku sekarang terdengar terlalu berlebihan.
Poppy dan aku sangat jarang berinteraksi, kecuali jika kami terhubung dalam kerja kelompok. Itu pun hanya sapaan basa-basi atau sekedar diskusi mengenai materi.
Menyabet gelar peringkat pertama di kelas membuat Poppy sibuk meladeni pertanyaan-pertanyaan dari teman sekelas. Mereka yang terkadang tak mengerti dengan penjelasan yang diberikan guru, menjadikan Poppy tempat lain untuk berguru. Tiap kali ada waktu menyapa, pasti ada saja murid lain yang mengurung perhatian gadis itu terlebih dulu.
Belum lagi berita simpang siur yang mengatakan bahwa Poppy memiliki seorang kekasih di kelas lain. Berita itu belum tentu benar memang, yah, kaum yang menunggu lebih rentan merasa tersingkirkan. Padahal aku bukan siapa-siapa, namun rasanya tetap sakit ketika ia menemukan tambatan hatinya. Walau hanya dari berita burung yang belum jelas kebenarannya.
Aku mendesah. Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku, entah apa rasanya, sesak. Kepalaku semakin terasa pusing dan berat. Aku ingin tidur saja.
Biarkan saja semua pemikiran semerawut ini menemukan tempat berlabuhnya di alam mimpi. Aku terlalu lelah untuk berpikir lagi.
***
“Dit, Adit, bangun.”
Aku menggeram kecil. Pusing di kepalaku belum terlalu reda. Aku masih ingin tidur sebentar lagi, jadi aku mengabaikan suara yang memanggilku tadi.
“Adit,” aku mengernyit dalam tidurku yang tak lelap. Lagi-lagi berusaha untuk tak mengacuhkan apa-apa. “Sudah jam istirahat kedua, loh.”
Eh?
Aku segera menegakkan punggungku. Pengelihatanku masih buram, dan pusingku seketika bertambah. Aku mengerang sembari memegangi kepala, gerakan tiba-tiba tadi membuat rasa sakitnya timbul kembali.
“Lo nggak apa-apa?”
Aku menoleh, masih dengan mata yang belum terbuka lebar seperti biasa. Wajah Poppy adalah hal pertama yang ada dalam pengelihatanku. Ada kerutan halus di dahinya. Dia melihatku seolah aku adalah orang sekarat yang butuh pertolongan.
“Ya...,” ujarku dengan suara serak.
Masih meremas rambutku, aku berusaha menghilangkan kunang-kunang yang mewarnai pengelihatan buramku. Sepertinya aku benar-benar butuh istirahat lebih banyak. Catat, menonton televisi hingga jam empat subuh sementara besoknya sekolah adalah kegiatan terlarang.
Rasa pusing sialan ini tak mau memberikan waktu padaku untuk berpikir jernih. Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku, seperti misalnya, kenapa aku baru dibangunkan saat sudah jam istirahat kedua, atau kenapa bisa Poppy duduk di sampingku sekarang.
“Butuh minyak kayu putih, Dit?”
Aku menggeleng. Tangan Poppy masih siap sedia memegang pundak kananku.
Perlahan, lalu-lalang murid yang berjalan masuk maupun keluar kelas mulai terlihat jelas. Jejak suara, ocehan heboh, serta tatapan penuh tanya kearahku menjadi latar belakang bersihnya inderaku sekarang.
“Dit?”
Aku terkesiap, tadi sejenak melupakan kehadiran Poppy di sampingku. Dia masih menatapku lekat-lekat.  Tangan kanannya memegang botol minyak kayu putih yang hanya sisa setengah.
“Mau makan dulu? Arga udah beliin dua bakwan tadi,” ucapnya sambil melirik pada dua buah bakwan berlapis tisu yang terletak di atas mejaku.
Seketika perutku menggaduh. Rasa lapar tanpa tahu malu menyebabkan bunyi aneh dari perutku. Aku menoleh pada Poppy yang kini tertawa pelan. Raut khawatir—aku tak yakin—di wajahnya hilang tersapu geli.
“Makan dulu aja. Aku mau beli minum sebentar.” Mendapat anggukan dariku, Poppy segera bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas setelah sebelumnya kembali berbalik untuk melihatku.
Aku melirik ke samping. Kursi di sampingku yang seharusnya terpajang tas hitam milik Arga kini tergantikan oleh sebuah tas berwarna pink. Itu tas milik Poppy. Sejak kapan tasnya ada di sana?
aku memerhatikan keadaan kelas sambil menyantap bakwan. Beberapa murid menatapku, Arga yang duduk agak jauh dariku juga ikut-ikutan menatapku. Bedanya, tatapan pemuda itu tampak jenaka. Ada seringai kecil yang terulas di wajahnya.
Aku melahap potongan bakwan terakhir sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menuju meja baru Arga.
“Ada apa nih? Kenapa gak bangunin gue tadi? Terus kenapa juga lo pindah ke sini?”
Pertanyaan bertubi-tubi dariku membuat Arga memutar bola matanya bosan. Dia menanggapiku dengan malas. Ekspresinya sangat mengesalkan, bagiku.
“Lo, kan sakit. Ya tadi Bu Yuli biarin aja lo tidur pules sampe ngiler-ngiler,” aku mendengus tak terima mendengar perkataannya, “kebetulan juga kita baru masuk semester baru, jadi tadi belajar sambil rolling tempat duduk gitu.”
 
“Loh, kenapa gue gak di rolling juga?”
Arga mengambil permen dari saku bajunya. “Lagian, lo tidur kayak kebo tewas. Mana sampe ngigo-ngigo gak jelas, makanya di biarin aja. Gak dianggep, sih, intinya.”
Aku merampas paksa perman di tangannya. Kemudian dengan muka masam, aku berlalu tanpa berniat mengucapkan terima kasih pada Arga yang merutuki namaku dari belakang.
Aku kembali ke mejaku. Memasukkan sampah tisu dan perman ke laci, lalu menjatuhkan kepala di atas meja. Terlanjur tidur lima jam, sekalian saja tidur sampai pulang.
Bel masuk berbunyi nyaring. Aku tidak benar-benar tidur, hanya menutup mata, menunggu kantuk tiba. Decitan kursi yang di tarik menarik perhatianku, namun aku tetap tak membuka mata.
“Dit, masih sakit?”
Aku merasakan sensasi dingin di pipi kiriku. Terkejut, aku otomatis membuka mata. Poppy ternyata tengah menempelkan sebotol minuman kemasan dingin ke pipiku. Wajahnya tampak geli, argh, ekspresiku pasti sangat konyol.
“Minum?” tawarnya.
Aku menggeleng, namun ia keukuh menyodorkan botol kecil itu ke hadapanku. “Tadi lo abis makan gorengan, kan? Nanti batuk, loh.”
“Gak apa,” jawabku sekenanya.
“Aku maksa, nih.”
Tatapannya mirip dengan tatapan ibuku yang gencar menyuruhku menghabiskan sayur di makananku. Merasa tak punya pilihan—percayalah, tatapan itu tak bisa dilawan—aku meraih botol minuman tersebut, dan menghabiskannya dalam beberapa teguk.
Poppy terlihat puas.
“Tidur lagi sana. Nanti aku bangunin kalau udah pulang.” Dia mengeluarkan buku dan kotak pensilnya dari dalam tas. Aku tersenyum. Aku yakin, dia tak mau melihat senyumku. Dia terllau sibuk menulis sesuatu dibuku tulisnya.
“Makasih.”
Tarian penanya terhenti. Dia menoleh, kemudian kembali tersenyum. “Sama-sama.”
Terima kasih sudah memberikan sedikit perhatianmu padaku.
***
Bersambung dalam khayalan pembaca.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.