Cerita Pendek (Cerpen) GISARGA

Rain In Shadow→ Cerpen yang satu ini bercerita tentang angan-angan penulis dengan seorang pujaan hatinya. Pujaan hatinya selalu bersama penulis ketika berada di sekolah. Akan kah kisah mereka berakhir bahagia? atau berakhir dengan tragedi? Silakan baca Cerpen berikut.



GISARGA
Karya Esti Noor

24 April, 2:49 AM
Namanya Gisa. Tujuh belas tahun dua puluh hari. Perempuan itu masih sibuk dengan rubik kubus tiga kali tiga di tangannya. Matanya masih terbuka lebar, tidak ada tanda-tanda mengantuk. Tiga jam sudah sejak niat awalnya untuk bisa tidur tidak terlaksana. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk membuat dirinya mengantuk. Ia sudah membaca buku, mendengarkan musik penghantar tidur, menghindari kafein, mengerjakan banyak soal matematika, menyelesaikan puzzle rumit milik adiknya, dan menyelesaikan rubik kubus lebih dari sepuluh kali.
Namun, semuanya nihil.
Gisa sendiri pun sudah lelah memaksa dirinya untuk bisa tertidur. Seakan matanya tak bisa di pejamkan dan tubuhnya tak kenal lelah. Mungkin dia akan begini saja terus sampai rasa kantuk itu muncul dengan sendirinya.
Sudah hampir lima hari ia tidak tidur malam, lingkaran hitam di bawah matanya terlihat sangat jelas. Dua hari belakangan ini ia berusaha agar bisa tidur lebih cepat, tetap saja matanya seakan tak kenal kantuk.

Libur pergantian semester membuat jam tidurnya berantakan bukan main. Tujuh belas tahun hidupnya, baru kali ini Gisa tidak tidur malam selama lima hari. Kedua orangtuanya tidak tahu, mereka mengira anak perempuannya itu tidur seperti biasanya. Gisa tidak pernah berisik di kamarnya.
Gisa sudah mengenakan baju tidur. Kaos kebesaran berwarna putih dengan tulisan ‘GOOD MORNING’ di bagian dada, celana legging hitam, dan kaus kaki abu-abu. Iya, Gisa terbiasa tidur mengenakan kaos kaki.
Damn.” Umpat Gisa sambil mengusap wajahnya dan menutup kedua matanya beberapa saat. Rambutnya yang jatuh di bawah pundak ia biarkan tergerai dengan beberapa helai yang terjepit belakang.
I’m so fucked up.”
I just want to sleep.” Ucapnya. Perempuan itu berdiri, berjalan mengelilingi kamarnya yang terlihat berantakan sambil mendongak ke langit-langit kemudian menjatuhkan badannya ke atas kasur empuk miliknya.
Sekali lagi, ia memejamkan matanya tangannya meraih bantal untuk menutupi kepalanya. Namun, baru lima detik ia mencoba tidur, sebuah suara mengusiknya.
Gisa beranjak dari kasurnya, berjalan ke depan jendela kamarnya dan menyangga tubuhnya dengan tangan kanan supaya ia bisa melihat dengan jelas pemandangan di hadapannya.
Ia melihat Arga sedang menutup pagar rumahnya. Laki-laki itu mengenakan baju putih polos dan jogger pants hitam. Sebelum Gisa beranjak dari tempatnya, Arga mengangkat wajahnya dan tak sengaja melihat ke arah jendela kamar Gisa. Laki-laki itu tersenyum, menampakkan deretan gigi yang tersusun rapi sambil menganggukkan kepalanya lalu ia berjalan tanpa memberikan isyarat.
Gisa mendengus.
Ia ingat kedua orangtua Arga sedang pergi ke luar kota beberapa hari. Saat ini, laki-laki itu hanya tinggal bersama kakak perempuannya yang akhir-akhir ini jarang sekali Gisa melihatnya.
Drrt... Drrttt...
Gisa menengok ke arah meja belajar di sampingnya, ponselnya bergetar, Gisa langsung mengambil benda persegi panjang itu dan mengecek notifikasi yang muncul.
Satu pesan dari Arga.
Mau keluar?
Gisa mengerutkan dahinya sebelum membalas pesan itu.
What is that supposed to mean?
Tidak sampai semenit, satu pesan baru masuk lagi ke ponselnya.
I’m asking
Gisa menaruh kembali ponsel yang ia pegang lalu membuka jendela kamarnya dan melongok keluar. Menoleh ke kanan-kiri tetapi tidak ada siapa-siapa, sampai tiba-tiba laki-laki bersepeda berhenti depan rumahnya.
“Ayo turun,” kata Arga tanpa perlu berteriak, karena keadaan sepi sekali.
“Ngapain sih?”
“Yaudah sih, turun aja. Nanti juga tau.”
“Hm... whatever.” 

Gisa menarik kursi belajarnya agar lebih dekat dengan jendela dan duduk.
“Lo ngapain malem-malem gini keluar? Emang gak diomelin Mbak Arum?”
Arga tertawa, “Gue? Diomelin Mba Arum? Lady, I’m seventeen. Dan  ini bukan malem, tapi udah pagi.”
“Halah.”
“Lagian, Mbak Arum lagi nginep di tempat temennya. Jadi mana bisa omelin gue.”
Gisa terdiam. Benar juga sih, Mbak Arum gak ada di rumahnya.
“Jam berapa sih in-” Gisa melihat jam dinding di kamarnya. “Jam dua. Hah? Jam dua lewat?”
“Kaget banget sih.”
“Gue tuh udah siap-siap tidur daritadi!”
“Sshh!” Arga menempelkan jari telunjuknya ke depan bibirnya yang mengerucut, memberi isyarat supaya Gisa berhenti bicara. Alisnya mengerut, “Lo mau coba bangunin semua orang?” bisiknya sinis.
I don’t know! Am I?!” balas Gisa dengan nada yang masih sama.
“G, lo...”
Don’t G me, just call me Gisa.”
“Iya terserah, Gi-sa,” kata Arga dengan penekanan di nama Gisa. “Gue cuma mau kasih tau, gue masih di luar kalau lo berubah pikiran,” lanjutnya.
Gisa menutup jendela kamarnya tanpa mengatakan apa-apa, meski tak terlalu rapat lalu berjalan ke arah kasur merebahkan tubuhnya dengan bantal yang menutupi kepalanya.Samar-samar ia mendengar suara decitan pagar.
Gisa masih di posisi yang sama selama kurang lebih tiga menit di kamarnya yang masih terang benderang. Ia menggumamkan lagu The Edge Of Tonight dari All Time Low sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar rumah.
Setelah mengendap-endap, akhirnya gadis itu berhasil membuka kunci pintu rumah dan melangkah keluar menggunakan sendal jepit dan masih mengenakan kaos kakinya.
Fine! I did it,” kata Gisa pada Arga yang baru saja menutup pagar rumahnya.
Morning too,”
Gisa mengerutkan alisnya, kebingungan. Namun, ia segera mengetahui apa maksud Arga setelah sadar bahwa laki-laki itu melihat ke arah baju yang ia pakai.
GOOD MORNING.
“Ew!” kata perempuan itu sambil menarik beberapa helai rambutnya kebelakang untuk dijepit kembali.
Meskipun ia terkesan cuek dengan anak laki-laki yang sudah menjadi tetanngganya sejak sebelas tahun yang lalu, Gisa tak bisa membohongi dirinya sendiri jika berada dekat dengan Arga jantungnya selalu berdebar-debar seperti sekarang. Selain karena ia berduaan di luar rumah bersama Arga pada pukul dua dini hari, ia merasa sangat gelisah karena Arga adalah laki-laki yang ia suka sejak mereka berusia sepuluh tahun.
Tidak. Tidak ada yang tahu hal ini. Tak satupun, kecuali sahabatnya, Adel dan ia pun menyuruh Adel agar tak memberitahu siapa-siapa.
“Terus?” kata Gisa. “Kita bakal diem gini terus sampe pagi?”
“Mau jalan-jalan?” tanya Arga dengan kedua tangannya berada di dalam kantong celananya.
Seriously? Jalan kaki?” Gisa mengerutkan dahinya.
Arga menyentil dahi perempuan di hadapannya itu. “Iyalah, enak tau jalan kaki.”
“Anjay. Sakit gila.” Gisa menendang kaki Arga. “Sepeda yang tadi mana?”
“Oh itu. tadi ada Mbak-Mbak di depan minta titip sepeda di rumah gue.”
“Ha? Ga, jangan-jangan itu kuntilanak.” Gisa bergidik ngeri lalu mendekap tubuhnya sendiri.
“G, lo-“
Don’t G me.”
“Gi-sa, lo kebanyakan nonton film,” ujar Arga. “Lagian juga tadi Mbak-Mbaknya pake kerudung, emang ada kuntilanak pake kerudung? Gak usah aneh-aneh deh.”
“Tetep aja, Ga. Itu, kan bisa aja Mbak-Mbaknya itu nyamar. Serem ah.”
Arga berdecak kesal, “Lima hari gak tidur imajinasi lo makin liar, G.”
Don’t G me.”

Arga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Gi-sa.”
How do you know that?
“Emang yang lima hari ini gak bisa tidur cuma lo doang?” Arga terkekeh, “Yaudah, ayo jalan. Daripada lo diem aja di situ nanti bokap lo keluar.”
“Gak ah.”
Arga tersenyum kecil melihat tingkah perempuan yang berjalan duluan di hadapannya.
***
Angin pagi yang terasa begitu sejuk berhembus melewati tubuh Gisa dengan lembut, membuat satu dua helai rambutnya bergerak. Keduanya berjalan dalam diam.
Do you always do this?” tanya Gisa
Do what?
Like, nggak tidur semaleman terus jalan pagi buta gini?”
No,” kata Arga. “Maksudnya, gue emang gak bisa tidur. Tapi gue jarang keluar jam-jam segini.”
So why did you?
Because,
Gisa diam, menunggu Arga melanjutkan kalimatnya.
I don’t know, just because.
“Hm.. maybe, gara-gara nggak ada orang tua lo sama Mbak Arum ya?”
Arga menggeleng, “Enggak juga.”
“Terus kenapa?”
I said I don’t know.
Just tell me why!
Damn. Lady I don’t know.” Arga mengacak rambutnya.
Gisa terdiam sejenak. “But it’s nice though. Gue selalu mau keluar jam dua atau tiga pagi kayak gini pas semua orang tidur, tapi gue gak bisa.”
“Kenapa?”
I’m scared.” Gadis itu menoleh ke kanan-kiri dan belakang sebentar. “Gue takut diculik atau ketemu setan.” Gisa bergidik ngeri sendiri.
Arga tertawa mendengar  penjelasan Gisa.
Why you wearing socks?
Because, I used to sleep wearing socks. I thought I’d be asleep,” kata Gisa.
Gisa diam. Enggan bicara lagi, karena ia menikmati angin yang berhembus lembut menyentuh permukaan kulitnya. Tidak ada orang di luar kecuali mereka berdua yang sedang berjalan santai. Berbeda sekali dengan suasana pukul lima sore, banyak orang yang keluar rumah untuk lari, bersepeda atau sekedar berjalan-jalan santai.
Semua pintu rumah tertutup rapat dan jendelanya masih tertutup tirai. Tidak ada suara-sura ribut gonggongan anjing atau sura-sura lainnya. Benar-benar sunyi.
“Lo pernah gak sih ngerasa...” ucap Gisa setelah tidak ada yang bicara di antara mereka. Suaranya terdengar serak.
Feel what?
Tired of hearing your own thoughts. It never stops.
You do?
Gisa mengangguk. “My brain wont to shut up everytime I close my eyes and try to sleep. Sometimes it frustrated me. Sometime it does something worse.”
Like what?” Arga bertanya lebih dalam. “Pernah cerita nggak, ke siapa?”
Gisa menggeleng.
“Adel?” tanya Arga lagi. Mereka bertiga bersekolah di sekolah dan kelas yang sama, sudah menjadi rahasia umum bahwa Gisa dan Adel adalah sepasang sahabat.
No. I never tell her anything. Nggak ke Adel, nggak ke siapapun.”
Why did you tell me?
Because,” Gisa menghela napas, tiba-tiba saja ia ingin menangis. “I’m tired?
Arga sadar kalau Gisa ingin menangis. Ia memegang pundak perempuan di hadapannya itu dan memutarnya sehingga posisi mereka saat ini saling berhadapan. Jantung keduanya berdebar-debar.
Do you want to talk about it?” tanya Arga dengan lembut.
Can we sit? Kaki gue mulai pegel nih,”

Arga tertawa. Meskipun ia melihat mata Gisa berkaca-kaca tetapi ada saja sesuatu yang membuatnya tertawa.
Keduanya duduk di depan halaman rumah orang.
“Bokap gue bakal bunuh gue kalau tau gue keluar jam dua pagi.” Adam tertawa lagi mendengar kalimat Gisa.
“G, if you need-
Don’t G me. God, damnit.”
Okay, okay. Fine. Gisa.” Arga menghela napas. “Lo bisa telfon gue kalau lo butuh teman. Mungkin itu bisa ngebantu. Kita bisa ngobrol sebelum lo atau gue tidur.” Ujarnya. “Maybe you just need someone to be here.
I don’t need anybody.
You do. We all do.”
Gisa tertawa kecil. “I’ve liked you since we were ten. Do you know that?” ungkapnya tiba-tiba. Sebenarnya, ia tak bermaksud mengatakannya. Ia melihat Arga terkejut dari sudut matanya, tetapi Gisa tidak menoleh dan mengatakan apa-apa.
I know.
What? You know? How?” kali ini Gisa yang terkejut. Ia langsung menoleh menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya dengan mata yang membulat.
“Iya, gue tau.”
Oh my god!” Gisa langsung memalingkan wajahnya. Tiba-tiba saja sekujur tubuhnya terasa panas, dan ia yakin bahwa wajahnya sudah memerah.
You-you know that I’m just kidding right? I’m just kidding-”
No. I know it is true,” kata Arga memotong kalimat Gisa. “Gue udah tau dari kita kelas delapan.”
SHIT,” Gisa kelabakan sendiri. Ia tak tahu mau ditaruh di mana wajahnya saat ini.
I feel bad for not been there for you though,” ujar Arga. “Gue ngerasa aneh kalau tiba-tiba kita nge-date atau ngelakuin hal-hal kaya orang pacaran. Gue nggak mau ngerasa nggak nyaman kalau sama lo. Gue gak mau hubungan kita yang udah senyaman ini canggung pas kita pacaran atau. Gue lebih nyaman sama lo kaya gini. Because, practically we are friends since baby, and our parents really really close. Bukan berarti gue gak mau buat hubungan sama lo.”
 I-I think I’m gonna puke, oh my God this is so embarrassing.
Arga tertawa. “Why you always like this?
Like what?
Being cute.”
“Arga stop!”
Seriously!”
Gisa tiba-tiba beranjak dari tempatnya. Ia berdiri dan membelakangi Arga.
I gotta go, okay? Thanks for tonight and good bye,” ujar perempuan itu seraya berjalan menuju ke arah rumahnya. Ia berkali-kali mengusap wajahnya dan jantungnya sejak tadi berdebar-debar begitu kuat. Ia tak pernah mengira bahwa kejadian yang biasa terjadi di film atau novel akan terjadi juga pada dirinya.
Hampir dua menit perjalanannya, tiba-tiba Arga muncul di samping Gisa sambil berlalri kecil.
“G, you know-“
Don’t G me.”
“Lo tau, gue juga suka sama lo.” Arga menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal.
“Lo... APA?”
“Serius Gi!”
Okay, maaf. Can you say it again?
No.”
Why?
Because I don’t want to
Just say it!
“Karena gue suka sama lo. Now, shut your mouth
“Ya ampun.” Gisa tersenyum sendiri. “This is so embarrasing and weird.
***
“Ga, gue pikir lo bener soal nge-date atau apalah itu.” kata Gisa setelah mereka berdua berhenti di tengah-tengah rumah mereka.
“Terus?”
“Kayaknya kita tetep gini aja deh. Lebih nyaman.”
“Kayak gimana?”
Gisa mengangkat bahunya, “Nggak tau, teman?” ia menghelas napas.
“Oh,” Arga mengangguk, “Okay, then.”
“Apa? Cuma okay?”
“Ya terus lo mau gue ngomnong apa?”
“Nggak tau? Sesuatu mungkin?”
“Cewek ngebingungin banget sih.” Gumam Arga. “Yaudah, terus gue harus bilang apa?” Arga menghela napas.
I don’t know.
Good night, or good morning?” tanya Arga, Gisa mulai mundur dua langkah ke belakang.
Good night and good morning.” Gisa tensenyum, ia memutar balik tubuhnya hendak berjalan ke arah rumahnya.
“Gi!”
“Ya?”
“Kalau lo butuh sesuatu lo bisa telfon gue kapanpun.”
I know.” Gisa tersenyum, “Itu pekerjaan lo.” Lanjutnya.
“Yaudah, masuk sana.” Ujar Arga, laki-laki itu pun juga mulai memasuki rumahnya.
Oh my God... this is still embarrassing to me.” Gumam Gisa sambil tersenyum-senyum.
***
Bersambung di khayalan pembaca.
 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.