Cerita Pendek (Cerpen) Pelangi Persahabatan
Rain In Shadow→ Sahabat merupakan Teman yang dapat diandalkan baik dikala sedih, susah, senang maupun sakit. Biasanya Sahabat akan menghibur kita dan selalu menemani kita ketika kita butuh yang namanya Teman Curhat.
Banyak orang bilang lebih baik banyak Sahabat dari pada banyak Teman. Ada juga yang bilang lebih baik sedikit Sahabat dan banyak Teman. Tetapi, alangkah baiknya jika kita bisa menempatkan diri kita sesuai yang kita inginkan. Menurut saya lebih baik kita memiliki Sahabat yang bisa mengerti dan menerima kita walaupun itu hanya seorang saja. Karena zaman sekarang sangat susah untuk mencari orang yang "Baik". Karena kita harus selektif dalam memilih Teman apalagi Sahabat yang mana Pergaulan zaman sekarang sangatlah Bebas. Kita harus bisa menjaga diri kita sendiri agar kita tidak terjerumus dalam Pergaulan yang Salah.
Baca Juga : (Cerita Pendek Birthday For You)
Cerpen kali ini mengangkat Tema tentang Persahabatan yang mana sangatlah indah layaknya Pelangi dikala Badai menerpa. Judulnya pun juga sangat unik menerut saya yaitu "Pelangi Sahabat", bisa dikatakan kalau Cerpen ini mengandung berbagai konflik yang dialami seseorang dengan Sahabat dekatnya. Baiklah dari pada lama-lama lebih baik silakan Baca saja Cerpen yang berada dibawah ini dengan seksama dan teleti agar mendapat Hikmah dan Amanat dari Cerita ini.
Baca Juga : (Cerita Pendek GISARGA)
PELANGI PERSAHABATAN
Karya Esti Noor
“separuh darimu menjadi
bagian dari kami, separuh darimu memberikan kekuatan pada kami dan separuh
darimu menjadi setitik kehidupan untuk kami”
Tetesan air langit
masih saja mengguyur bumi, sejak tadi pagi. Awal november..... tentu saja hujan
yang berkuasa, bahkan hujan tidak mengizinkan senja muncul hari ini, untuk
sekedar menjemput mentari keperaduannya.
Dan aku masih terdiam
disini sejak beberapa meniy lalu, menggema isak tangis. Isakan kecil milik
seseorang yang sangat kukenal. Cowok tampan dan manis, bgitu kata orang
tentangnya. Tapi aku tak tau, karna memang aku belum pernah melihatnya.
Aku Thella, aku buta
sejak lahir dan kerena itu aku tinggal di panti ini.
Aku mulai mencoba
menghampirinya, memayunginya dengan payyung merah mudaku.
“ngapain kami disini
sendirian za?” tanyaku pada cowok yang disapa reza itu.
“jangan sok care deh”
ia membentakku, sambil menepis payungku. Air hujan pun mulai menyapa kulitku.
“za ayu kita masuk,
kamu kan lagi sakit” ajakku, dengan sedikit perasaan sambil menrik tangan Reza.
“aarggh. LEPAS. Gw
bilang gak usah sok care, gw gak sakit. Gw baik baik aja, jangan fikir gue sama
kayak lo dan tememn temen lo yang cacat dan penyakitan” bentak reza kasar.
Sakit. Ya tentu saja
aku marah dengan ucapan reza tadi. Tapi aku tetap tak tega membiarkan reza
sahabat ku kehujanan sendirian disini, apalagi ia baru sembuh dari sakitnya.
“kalo kamu gak mau masuk , aku juga gak bakal tetep disini nemenin kamu”
ancamku. “udah deh, PERGI SANA” reza mendorongku..
“Thellaaa...” teriak
seorang cowok mengahampiriku.
“thell kamu gak papa??”
ucap seorang cewek sambil membantuku berdiri. Mereka adalah sahabatku. Bisma
dan Dina. Bisma adalah penderita penyakit karusakan hati kronis, sedangkan dina
menderita gagal ginjal. Panti ini memang dibangun khusus anak anak seperti
kami. Disini kami merasa lebih nyaman, kami merasa sama dan senasib, kami
belajar saling melenkapi, belajar peduli dan berbagi.
Tapi reza... dia
berbeda dengan kami, saetahuku dia tiidak cacat, apalagi penyakitan. 11th lalu
ibi panti membawa seorang anak berusia sekitar
5th. Ibu panti bilang ia menemukan anak itu stasiun. Anak itu menangis
mencari ibunya mungkin reza terpisah dari orang tuanya, atau mungkin sengaja
ditinggal. Akkh, natah lah, itu tidak penting untuk kami. Saat itu, kami hanya
berfikir akan mempunyai teman baru lagi.
“orang tuaku pasti akan
menjemputku”
Itu kalimat andalan
reza. Sejak kecil dia selalu menolak saat kami ajak bermain. Dia tidak suka
dengan keberadaan kami, dia lebih suka sendiri, asik dengan dunianya sendiri.
Tapi seiring waktu, sosook reza asli mulai muncul. Reza anak yang lucu dan baik
hati. Pada dasarnya reza itu ramah dan penyayang, kami semua jadi mulai
terbiasa membaur dengannya, diapun mulai bisa menerima kami semua sebagai
anggota keluarga barunya. Aku, Dina, Bisma dan Reza memang berteman sangat
dekat. Kami sering bermain bersma. Reza mengajari banyak hal pada kami,
termasuk semangat untuk sembuh. Reza yang mengajari Bisma bermain sepak bola,
bahakan reza juga mau membantu dina merawat bunga bunganya. Reza juga selalu
menceritakan hal hal yang tidak bisa kulihat, seperti keindahan mmentari
terbenam, bunga yang bermekaran, rinai hujan, juda sosok bisam dan dina. Reza
bilang bisma itu cakep, pendek, kulitnya sawo
matang, sedangkan dina, cantik dan chubby. Dan reza bilang kalo aku itu
manis dengan dagu tirus dan rambut lurus yang panjang.
Tapi natah mengapa
sejak beberapa bulan lau, sosok reza berubah menjadi sosok reza kecil yang
dulu, yang tak mengizinkan seorangpun masuk dalam kehidupannya, reza yang
cenderung kasar dan sangat menyebalkan.
“za, lo apa apan sih?”
bentak bisma
“LO GAK USAH IKUT
CAMPUR”
“tp kita sahabt kamu
za, kita sedih liat kamu kayak gini” tambah dina
“kamu kenapa sih za?
Kita kangen reza yang dulu” tanyaku.
“ini gue reza. Yang ada
dihapan lo semua, ini reza yang asli. Reza yang dulu udah mati, MATI” Reza
pergi, diiringi deru angin yang mensuk kulit.
“KAMU TETEP SAHABAT
KITA ZA” Teriakku, aku tau reza pasti tak peduli dengan kata kataku.
---------------
Baca Juga : (Puisi Bertema Tentang Kesengsaraan Rakyat)
Sore itu selepas hujan,
kami bertiga, aku bisma dan dina berkumpul di danau bintang. Danau ini rezalah
yang menemukannya. Sudah berapa lama reza tak mengunjungu tempat ini. Akhir
ahir ini, reza lebih sering mengunci diri di kamarnya.
Danau ini di kelilingi
daun berwarna hijau cerah, dihiasi butiran butiran bening sisa air hujan. Air
danaunya pun bergerak perlahan membiaskan langit yang kala itu dihiaskan
pelangi. Saat malam danau ini akan menghamparkan ribuan bintang dan cahaya
bulan.
“eh eh, lihat ada
pelangi” kata bisma
“oh ya?” balasku
“iya thell” jwb dina.
“andai ada reza disini , pasti dia akan menceritakan warna warna pelangi itu.”
Batinku.
“aku kangen reza”
gumamku, “kita juga thell” kata bisma dan dina bersamaan.
Setelah itu kami
terdiam. Tap berapa lama pelangi pun hilang, kami pun beranjak pulang, tapi
kemudian derap kami terhenti, bisma dan dina melihat reza melangkah perlahan
kearah sebuah pohon. Ia menggali lubang dan disana menguburkan sesuatu,
sejenak reza terdiam lalu air matanya
mulai menetes perlahan.
“ngapain ya reza
disitu, kenapa dia nagis” dina betanya tanya.
“reza nangis? Aku mau
samperin dia” kataku
“jgn thell, ntar lo
kena bentak lagi, udahlah mungkin dia udah gak butuh kita” cegah bisma.
“tp dia sahabt kita
bis” kataku.
“dulu” sergah bisma.
“selamanya bis,
SELAMANYA” Aku pergi memnjauh.
------------
Baca Juga : (Puisi Bertema Tentang Cinta Yang Terpisahkan)
2 minggu kemudian
Suara guntur dan angin
menghiasi malam itu. Kami kini, membisu, menatap sosok lemah tak berdaya itu
dari balik kaca. Ia terlihat begitu letih, guratan kesakitan hampir
menghilangkan ketampanannya. Rambutnya menipis, kulitnya pucat, bibirnya pun
putih, dan tangan yang dulu selalu diulurkan untuk membantu teman temannya,
kini terkkulai tak berdaya. Air mata??? Tentu tak dapat dihitung, sudah berapa banyak tertumpah.
“reza selalu bilang,
kalian segalanya untuknya, maafkan sikap reza selama ini pada kalian, dia hanya
tidak ingin kaian sedih saat dia pergi nanti” jelas ibu panti pada kami
“ibu jangan bilang
gitu, reza pasti sembuh kok. Kita selalu mendoakannya.” Ucapku getir.
Semua hanyut dan
kesedihan dan doa. Doa untuk sahabt terbaik kami. Aku takut, ntah mengapa aku
merasa reza akan segera pergimeninggalkan kami, tp segera ku tepis perasaan
itu. Bagaimana jadinya kami tanpa dia, bukankah dia yang selama ini
menyemangati kami, yang ikut merasakan kesakitan bisma, ikut menangis melihat
dina kemo, yang menjadi tongkatku, cahayaku. Tentu tuhan tidak akan sejahat
itu, mengambilnya dari kami. Bersamaan dengan doa yang terus mengalir untuk
reza yang sedang berjuang didalamn sana, memori tentang reza pun mengalir dala
pikiran kami masing masing.
>>Flashback
HAHAHA
Kami kompak
menertawakan reza yang terpeleset ke air danau saat itu, reza tentu saja hanya
nyengir dengan baju yang basah kuyuppp. Ia memnghampiri kami.
“bissmmmmaaaaaa” reza
memeluk bisma
“huwwaa, reza. Gw jadi ikutan basah deh.” Keluh bisma
“eh eh liat tuh ada
pelangi” tunjuk dina
“eh iya, tapi kok gak
ada warna hijaunya. Ya?” tanya bisma
“bukangak ada bis,
mungkin belum jelas. Pelangi itu akan selalu datang dengan warna yang lengkap,
sama kayak kita yang selalu saling melengkapi agar semuanya menjadi lebih mudah
dan indah” jelas reza.
“pengen deh,
persahabatan kita kayak pelangi, selalu lengkap. Tapi sayangnya suatu hari,
salah satu dari kitaa...” “Bisma pasti dapat pendonor hati, Dina pasti dapat
ginjal yang yang cocok dan Thella pasti bisa melihat lagi, percaya deh, suatu
saat kalian akan sembuh dan menatap pelangi itu sambil tersenyum” Reza memotong
perkataan dina sebelumnya, ia tidak mau membicaraka kematian atau perpisahan.
“iya, aku jadi gak
sabar pengen bisa lihat pelangi” ucapku.
>>Flashback OFF
“bangun za gw mohon”
batin bisma
“jgn tinggalin kita za”
bisik dina dalam hatinya
-----
Baca Juga : (Puisi Chairil Anwar Kesabaran)
Kami berlari kecil di
koridor rumah sakit. Dina terus menggandeng tanganku. Senyum manis merekah
disudut bibir kami. Reza sadar.
“rezaaaaa....” sapa
bisma
“haii..” reza tersenyu,
kami menatapnya sedih
“pda knp sih? Gak usah
didramatisir gitu deh, gw sadar bukan buat liat kalian nangis bombay gtu” kata
reza
“ lo harus janji za”
kata bisma
“janji apa” tanya reza
“janji gak bakal
ninggalin kita” lanjut bisma
“iya, dan kamu harus
cepet sembuh za, kamu kan udh janji mau nemenin aku liat pelangi. Sebentar lagi
aku bakal bisa liat za” pintaku pada reza
“kita semua dapat
pendonor za, kita bakal sembuh, kayak yg kamu bilang dulu.” Dina tersenyum,
reza membalasnya
“gw pengen jalan-jalan
ke bukit bintang. Kalian mau anterin gw kan? Gak akan lama kok, sebentar aja”
pinta reza. Melihat keadaannya yg stabil, kami pun setuju.
“yaudah tapi sebentar
aja ya, loe kan harus istirahat” kata bisma, reza mengangguk setuju.
“yaudah aku izinin
kedokter dulu ya” usul dina
-----
Baca Juga :(Cerita Pendek Dibalik Rasa Iba)
Kami pun mulai
menyusuri jalan berumput menuju danau bintang, dan kalian tau? Reza memintaku,
aku yg buta ini untuk mendorong kursi rodanya. Di selalu menuntunku kejalan
yang tepat. Aku semakin sadar akan sulit berpisah darinya, dia adalah titik
cerah yang tuhan kirimkan untuk sosok dalam kegelapan seperti aku.
Saat sampai, kami disap
oleh bau tanah yg merebak dan tetesan air yg bergelantung di ranting-ranting
pohon. Tapi air danaunya berubah, tdk lagi tenang seperti biasanya, tapi kini
beriak seakan sedang gelisah.
“eh eh, pelanginya udah
muncul” teriak dina. “selalu indah” gumam reza.
Kami semua menatap
barisan warna pelangi itu, akupun seakan menemukan lengkungan berwarna itu
dalam kegelapan. Memang dilihat berapakalipun tak akan mengurangi keindahannya
“aku pengen jadi warna
merah, kuat dan berani supaya bisa jagain kalian” kata bisma tiba-tiba
“kalo aku pengen jadi
kuning, ceria dan periang, supaya aku bisa bikin hari kalian selalu cerah”
lanjutku
“aku pengen jadi warna
hijaunya, tenang dan lembut. Biar aku bisa bawain kalian kesejukan” tambah
dina.
“dan aku pengen jadi
hujannya” ucap reza, dan kai semua menoleh kearahnya.
“kenapa hujan za.
Kenapa gak jadi langitnya, langit tempat pelangi bergantug” saranku.
“suatu saat kita pasti
akan pisah, dan aku bakal jadi orang pertama yang mempersatukan kita. Kalian
tau kan, pelangi gak akn muncul, tanpa seruan hujan. Karna itu aku pengen jadi
hujan, hhujan yg memanggil kalian, pelangiku.”
Aku menangkap kata-kata
itu sebagai ucapan selamat tinggal. Aku berfikir bahwa reza sadar bukan untuk
sembuh, tapi hanya untuk mengizinkan kami melihat senyumnya utk terakhir kali.
“kita balik yuk za”
ajakku
“ntar thell, tunggu
pelanginya ilang” reza menolak
Kami menatap pelangi
itu, pelangi terakhir yag bisa kami nikmati bersama sosok reza, karena setelah
itu, bersamaan dengan pelangi lenyap, mata reza pun perlahan merapat, tapi
kedua sudut bibirnya, tetap membentuk lengkungan manis.
“hiks” aku mendengar
dina terisak.
“pelanginya sudah ilang
za, ayo kita balik” lirih bisma.
Kita sama sama tahu
bahwa jiwa reza telah meninggal raganya. Aku menggenggam tangan dingin reza.
Saat menuju rumah sakit
aku kembali mendorong kursi roda itu. Tapi kini tentu berbeda, karna raga yang
duduk diatasnya tak lagi menunjukkan arah yang harus ku tempuh. Kami semua
terdiam, merasakan gejolak kesedihan dalam relung hati.
------
Hari itu cuaca cerah,
burung pun beterbangan di angkasa. Kami berdiri disini, dibawah sebuah pohon
besar ditepi danau bintang. “sekarang bis” kata dina.
Bisma pun mullai
menggali tanah itu, tak berapa lama sebuah kotak muncul didasar lubang yang tak
terlalu dalam. Bisma pun mengambil dan membersihkannya dari beberapa bulir
tanah. Kami bertiga sepakat untuk segera membukanya. Membuka kotak yang reza
kubur waktu itu. Saat kami membukanya, kami dapati 5 buah benda disana, hiasan
meja berbentuk gitak dari bisma, syal biru tua dari dina, gantungan kunci
berbentuk bola basket dari ku dan selembar foto. Foto kami berempat sdg tertawa
lepas menatap kamera.
“ternyata memang manis”
batinku.
Ya, inilah kali pertama
aku melihat wajah reza. Sekarang kami bertiga telah sembuh, pendonor itu telah
memberikan separuh dirinya untuk menjadi setitik kehidupan untuk kami.
Dan terakhir sepucuk
surat yang ditaruh didasar kotak. Bisma mulai membuka dan membacanya. Aku dan
dina mendengarkannya.
Gw muhammad reza
anugrah, gw bukan cowok hebat, gw juga bukan cowok kuat, Cuma seorang cowok
yang baru nemuin kebahgiaan gue disini, gua baru ngerasaain gimana rasanya di
sayanagi, gimana indahnya berbagi, dari kecil gue sendiri, gue dibuang sama
nyokap gue. Tapi dengan itu, gue bersyukur karena gue bisa ketemu mereka.
Thella, Dina dan Bisma.
Sobat gue, semangat,
gue, hidup gue. Gue rela tukar apapun yang gue punya buat mereka. Saat gue tau,
mereka bakal ninggaliln gue, gue takut, gue sedih. Gue berdoa agar gue duluan
yang dipanggil Tuhan, supaya gue gak ngerasain sedihnya kehilangan mereka. Dan
Tuhan kabulin doa gue, kanker otak stadium akhir. Sesaatt gue berfikir itu
anugrah, tapi kemudian gue sadar, gimana mereka kalau gue pergi, siapa yang
bakal jaga mereka.
Berpura-pura semuanya
baik baik saja, tentu bukan hal mudah, jadi gue milih jauhin ereka. Gue gak mau
semangat mereka hilang saat tau keadaan gue.
Gue nyesel sama doa
gue, gue gak yakin sanggup ninggalin mereka, guge masih pengen liat senyum
mereka. Akhirnya, gue putusin, gue titipin sebagian dari gue kemereka. Mata
untuk Thella, hati untuk Bisma, dan ginjal untuk Dina. Semoga dengan gini, gue
bakal tetep bisa disisi mereka meski dalam wujud yang berbeda.
Tak ada airmata yang
tercurah dari kami bertiga, melepas sahabat terbaik kami tentu bukan dengan
airmata. Lagipula hujan juga telah mewakili kami.
Ya, saat itu hujan
turun, padahal hari sangat cerah, bahkan mentari tak beranjak dari tempatnya.
Kami berlari lari kecil ditengah hujan, seperti yang sering dilakukan Reza
dulu, kami berkejaran dan tertawa lepas menikmati hujan. Biarlah raganya yang
jauh tapi kasih sayangnya masih mengalir dalam deru darah kami.
“eh eh, liat deh ada
pelangi.” Tunjuk Dina
“kamu berhasil jadi
hujjan za.” Lirih Thella
“Reza berhasil bawain
pelangi buat kita.” Lanjut Bisma
-THE END-
Tidak ada komentar: